Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 09 Agustus 2009

Serpihan Kecil Kisah Laskar Pelangi


Saya kira saya tak akan bertemu lagi dengan kisah-kisah mengenai potret miris pendidikan Indonesia semacam kisah Laskar pelangi selain yang saya temukan di sekolah tempat Ibu saya mengajar.
Ibu saya mengajar pada sebuah sekolah menengah atas dimana kebanyakan siswa-siswanya adalah anak yang tidak mampu. Diantara mereka banyak yang sekolah sambil berkerja.ada yang berkerja membantu pekerjaan rumah tangga sebagai anak asuh, sebagai tukang potong ayam di sebuah pasar di kota ini, berkerja sebagai montir bengkel, dan lain sebagainya. Yah, hampir serupa Kucai-lah, yang berkerja membantu ayahnya di penambangan timah di Belitong.
Kali ini kisah yang saya jumpai hampir serupa Lintang, hanya sedikit berbeda kasusnya, namun sama-sama dapat menyentuh hati nurani kita.
Kisah ini saya temui ketika saya datang bersama teman-teman ke sebuah daerah pesisir pantai di Kota Singkawang. Saya berkenalan dengan seorang anak, sebut saja namanya Hanna. Karena kunjungan itu adalah kunjungan saya yang kesekian ke kampung itu, Hanna tak asing lagi dengan saya. Saat itu Hanna bercerita pada saya kalau ia telah lulus SD tahun ini. Saya sangat gembira mendengarnya sekaligus miris, sebab rupanya ia tak dapat melanjutkan sekolah alias putus sekolah karena alasan klise, biaya.

Kebetulan seorang Abang yang merupakan pemimpin perjalanan kami menyuruh saya untuk menanyakan pada Hanna berapa nilai rata-rata kelulusannya, jika di atas enam maka Abang tersebut ingin menolong dengan menjadikannya anak asuh. Jadi si Abang berniat akan menyekolahkannya di sebuah SMP Islam di Pontianak. Si Abang kebetulan telah mapan dan sudah berkeluarga serta sudah terbiasa mengadakan pertolongan semacam ini pada anak-anak tidak mampu lainnya yang berasal dari daerah. Saya mengatakan mungkin saja, sebab Hanna juga bercerita bahwa dia dipanggil oleh bibinya yang tinggal di Pontianak untuk membantu mengurus anaknya yang baru lahir.
Bersama seorang adik kami menemui Hanna untuk menanyakan soal nilai rata-ratanya, kemudian betapa gembiranya kami ketika Hanna mengatakan bahwa nilai rata-ratanya adalah 6 koma sekian. Kami pun lalu menjalankan tugas kedua kami , yaitu berbicara dengan ibu Hanna.
Akhirnya kami pun sampai di warung kecil ibu Hanna yang terletak tepat di depan rumahnya yang sederhana, lalu saya menyampaikan maksud kami sebenarnya...., dan si Ibu hanya tersenyum getir sebelum mengatakan kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang menggugah nurani dan mengetuk pintu jiwa kami yang terdalam....
"Hanna belum lulus SD kok, dik...."
"....?"
"Dia sekarang masih kelas tiga SD...."
Saya dan si adik berpandang-pandangan dan kebingungan..., jadi Hanna telah berbohong?
"Begini, Hanna memang kemampuannya tidak sama dengan anak yang lain..., yah bisa dibilang kurang, makanya ia terus menerus tinggal kelas bertahun-tahun. Dia memutuskan tidak sekolah lagi bukan karena kami tidak mampu, tapi mungkin karena dia merasa malu. Tahun ini dia sudah berumur 13 tahun, harusnya sudah masuk SMP, dan tahun ini pula dia akhirnya sekelas dengan adik lelakinya...."
Saya dan si adik hanya bisa terdiam, miris dengan semua kenyataan ini, sungguh sangat kasihan dengan adik kami Hanna.
Mulanya saya sangat terkejut karena Hanna telah berani berbohong, namun saya berusaha menempatkan diri di posisi Hanna, ya Allah, mungkin pun saya akan merasa malu seperti yang Hanna rasakan serta merasa berat untuk melanjutkan sekolah..., sungguh sulit berada di posisi Hanna.Apa yang anda rasakan, jika Anda masih duduk di kelas 3 SD di usia 13 tahun?
Sungguh jarang sekali kita menyadari, di kala kita dapat dengan lancar melalui satu demi satu jenjang pendidikan..., masih banyak orang lain yang susah payah dan kesulitan. Mungkin jarang sekali kita mensyukurinya atau berusaha lebih peduli pada masalah semcam ini.
Saya dan si adik sibuk dalam kediaman kami masing-masing, membayangkan masa depan Hanna nantinya sungguh menyesakkan dada kami. Di daerah yang jauh dari hingar-bingar perkotaan seperti ini kami harus bertemu dengan serpihan kecil potret miris pendidikan Indonesia, dimana tidak semua anak memiliki kemampuan yang sama. Ya Allah, berikan yang terbaik bagi Hanna dan jagalah Hanna selalu, karena Hanna pun mempunyai Ibu yang hebat yang mengatakan sesuatu pada kami sebelum kami pergi, "Biarlah saya sendiri yang akan menjaga dan mendidik Hanna perlahan-lahan,sesuai kemapuannya...," begitu kata ibunya.

Selalu ada harapan, saya yakin Hanna akan mendapatkan yang terbaik nantinya walau keadaannya sesulit ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar